Selasa, 25 Desember 2018

BPJS Berprinsip Syariah

Dimuat di koran Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2015
Oleh Dr. Hilmi Sulaiman Rathomi MKM,
Perhimpunan Profesi Kesehatan Muslim Indonesia (PROKAMI – IMANI) Wilayah Jawa Barat

Kehebohan fatwa haram BPJS oleh MUI menyedot perhatian publik yang luas. Selama tahun 2014, BPJS telah membayarkan layanan kesehatan untuk lebih dari 92 juta orang melalui layanan rawat jalan maupun rawat inap, di klinik ataupun Rumah Sakit di seluruh pelosok nusantara. Kondisi tersebut menjadikan BPJS saat ini sebagai concern bersama dan perkembangannya diamati oleh seluruh rakyat Indonesia. Jumlah orang sakit yang dilayani oleh BPJS pada tahun perdananya tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit, karena setara dengan lebih dari 3 kali jumlah seluruh penduduk Malaysia. Dengan semua manfaat tersebut, masyarakat, terutama umat islam, tentu gempar pada saat mengetahui bahwa layanan yang selama ini dinikmati adalah haram.

Terminologi haram sebetulnya tidak terdapat dalam dokumen hasil Ijtima Ulama MUI di Tegal awal Juni lalu. Istilah yang digunakan dalam dokumen tersebut adalah tidak sesuai prinsip syariah, sehingga rekomendasinya adalah membentuk aturan operasional BPJS agar sesuai dengan prinsip syariah. MUI menilai adanya unsur riba (tambahan), gharar (penipuan), dan maisir (perjudian) pada aktivitas operasional BPJS dalam menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meskipun demikian, pada berbagai kesempatan, Ketua Bidang Fatwa MUI, KH.Ma’ruf Amin, menyatakan bahwa meskipun BPJS belum sesuai prinsip syariah, namun karena tergolong dalam kondisi kedaruratan, masyarakat tetap dipersilakan untuk menikmatinya. Besarnya manfaat yang dirasakan, adanya ketentuan wajib dari pemerintah, dan belum adanya alternatif menjadi alasan kondisi kedaruratan tersebut. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar